Menjelang dini hari, ketegangan Jumidi (43) mulai berkurang. Ia sudah
bisa tersenyum karena beban tugasnya berkurang. Sebagian
tamunya (pengusaha yang ditemaninya memancing sejak Sabtu
sore) kelelahan dan tidur di tenda di tepi Pantai Bekah.
Sebagai porter, begitu pemandu ini dipanggil, Jumidi tak boleh tidur. Ia harus
siap-siaga sepanjang waktu saat tamunya memancing di Pantai Bekah, Dusun
Temon, Kecamatan Purwosari, Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Tiga dari 15
tamunya dari kota itu tertidur pulas dengan 20-an kilogram ikan hasil
mancing.
Sejenak Jumidi meregangkan tubuhnya sambil tetap menjaga
beberapa joran yang masih dipasang di antara tonjolan batu karang.
Pospor yang menyala di ujung joran sesekali bergerak di kegelapan malam
dan menandakan umpan sedang dimakan ikan. Dengan sekuat tenaga, Jumidi
menarik joran sambil meneriakkan, ”Dewa Baruna, kulo nyuwun iwak (Dewa
Baruna, saya minta ikan).”
Angin yang bertiup kencang dari arah
Laut Selatan Gunung Kidul sedang kurang bersahabat dengan para pemancing
malam itu. Sebanyak 15 pemancing mulai terlelap, tetapi Jumidi tetap
setia menjaga alat pancing. Jika salah seorang dari pengusaha yang
ditemaninya mancing hari itu mulai terbangun, joran harus sudah siap
dipegang.
Marno (40), rekan Jumidi sesama pemandu di tebing
karang, juga terjaga sepanjang malam. Baru ketika para pemancing yang
ditemaninya beristirahat, Jumidi dan Marno bisa berkisah banyak tentang
hidup sebagai pemandu. Menjadi pemandu tak sekadar pekerjaan, tetapi
hobi.
Sebelum menjalaninya, Jumidi dan Marno cuma bisa memancing
dengan menggunakan bambu dan senar seharga Rp 17.000. Sejak menjadi
pemandu sekitar 1982, setiap akhir pekan mereka pun bisa turut menikmati
mancing dengan alat pancing seharga Rp 35 juta lebih setiap joran. Seorang pemancing yang baik hati bahkan meninggalkan sebuah joran lengkap untuk Jumidi.
Dari
uang yang dikumpulkannya sebagai pemandu, Jumidi kini memiliki 50 ekor
kambing dan 4 ekor lembu. Dia biasanya memperoleh Rp 200.000 per malam,
belum lagi jika para pemancing memberi tambahan. Jumidi memang terkenal
sebagai orang yang tak bisa diam di desanya. Dia petani tadah hujan,
sekaligus pencari lobster karang.
Bergaul dengan banyak pejabat,
pengusaha, dan dosen, lulusan sekolah dasar itu bermimpi bisa
menyekolahkan empat anaknya hingga perguruan tinggi. Sulung Junaidi kini
telah duduk di bangku sekolah menengah kejuruan. ”Semua anak saya masuk
ranking di kelas,” bisiknya bernada bangga.
Belum selesai
bercerita, Jumidi bergegas menyiapkan wedang teh dan kopi bagi beberapa
pengusaha yang malam itu didominasi dari Kelompok Tani Nelayan Andalan
(KTNA). Tim KTNA ini sedang menggelar turnamen mancing di tebing dan baru pertama kali digelar di Indonesia. Turnamen diikuti 300 pemancing dengan hadiah utama kambing.
Sebagai
pemandu, tugas Jumidi tak sekadar berkutat masalah pancing. Dia pun
menjadi pengangkut barang pemancing yang beratnya bisa 1 kuintal. Dia
biasanya menyunggi beban itu di kepala dengan keranjang bambu rata-rata 2
kilometer.
Resep Jumidi untuk menjaga ketahanan tubuh adalah
mengonsumsi jamu rebusan daun pepaya. Sebelum para pemancing tiba di
Pantai Bekah, Jumidi turut membantu pemuda karang taruna dari Dusun
Temon memasang tenda dan membersihkan bangunan permanen yang sengaja
dibangun untuk istirahat pemancing tebing.
Jumidi dan Marno tak
pernah bisa duduk diam. Mereka harus terus bergerak: meracik umpan,
melempar pancing, menarik mata pancing yang menyangkut di karang,
memperbaiki pancing, membuatkan minuman, membuat Jumidi tak pernah jauh
dari pemancing. Setiap pemandu bisa menangani dua hingga tiga sekaligus
pemancing tebing.
Ketua KTNA Nasional Winarno Tohir, misalnya,
hanya tinggal duduk diam dan menjaga mata pancing hingga dimakan ikan.
Jika ikan yang dipancing terlalu berat atau di atas 40 kilogram, Jumidi
pun segera dipanggil untuk membantu menarik pancing. ”Jika mampu, ya
ditarik sendiri. Puncak kenikmatan memancing ya ketika menarik tangkapan
ikan,” ucap Winarno.
Winarno mengatakan, keindahan tebing pantai di Gunung Kidul tiada padanannya
di
Indonesia. Dari tebing karang Pantai Bekah, pemancing bisa menyaksikan
kemunculan ikan lumba-lumba, hiu, dan paus hitam tanpa harus menggunakan
kapal. Tak heran Winarno rela tidur beralas tikar di pantai sambil
memancing sebulan sekali.
Di kalangan pencinta memancing,
tebing-tebing karang di wilayah Gunung Kidul adalah surga. Tebing-tebing
curam itu tak hanya menawarkan keindahan panorama alam yang terisolasi.
Meskipun
nama dan tugasnya sama dengan caddy yang biasa ditemui di lapangan
golf, caddy di tebing karang terdiri dari penduduk lokal bertubuh kekar.
Wilayah
Gunung Kidul menyajikan lokasi pancing menarik di 100 titik pantai
bertebing. Setiap akhir pekan, kesunyian pantai yang terisolasi itu
berubah menjadi hangat oleh kehadiran pencinta mancing....
No comments:
Post a Comment